TEMA-Folklore: Tawangsari adalah satu dari tiga dusun yang ada di Desa Ngrowo, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Selain Tawangsari, di Desa Ngrowo terdapat Dusun Ngranggon dan Pendowo. Desa Ngrowo terbentang seluas 231.068 ha. Desa yang masih asri ini menyimpan banyak cerita rakyat, mulai dari masa sebelum Majapahit hingga sekarang. Tidak banyak orang yang mengetahui tentang hal ini. Utamanya yang akan di gali pada tulisan ini adalah terkait asal-usul Dusun Tawangsari beserta Kendi ajaib yang keberadaannya masih terus ditelusuri hingga saat ini.
Dusun ini terletak paling barat dari ke tiga dusun yang ada di desa Ngrowo, berbatasan dengan desa Pakuwon yang berada di sebelah utara, desa Sumber tebu di sebelah barat dan desa Sidomulyo dan desa Kaligoro yang berada di sebelah selatan dan sebelah timur dekat dusun Pendowo. Luas Dusun Tawangsari mencapai 4,38 ha. Mata pencaharian penduduknya bervariasi, yakni; ada yang sebagai petani, pembuat batu bata merah pres dan cetak biasa, pekerja di bengkel, pedagang, pegawai swasta dan ASN.
Mengulas sejarah Desa Tawangsari tak bisa lepas dari Punden Sambi Gembol. Punden ini berada sekitar 100m ke arah selatan Balai dusun Tawangsari. Sambi Gembol berasal dari kata Sambi yang berarti kegiatan yang di lakukan bersamaan diiringi aktifitas lain, dan Gembol yang berarti membawa hasil yang telah diupayakan untuk dibawa pulang. Sambil menyelam minum air, mungkin ungkapan yang sesuai untuk istilah ini.
Punden Sambi Gembol dijaga Pak Miskan, juru kunci yang selalu membersihkan dan menjaga. Banyak orang yang datang atau berziarah ke punden itu. Biasanya sambil berziarah, mereka yang datang mempunyai niat tertentu untuk mencapai sesuatu yang di cita-citakan. Di dalam punden Sambi Gembol ini terdapat empat makam. Makam Eyang Tirtoloyo, makam Nyai Nilam Sari, makam Arya Diningrat alias Pendekar Watu Kendit, dan makam Prawiro Dirjo alias Pendekar Wali Mas.
Eyang Tirtoloyo atau dijuluki Pendekar Banyu Bening adalah pembabat alas dusun Tawangsari pada jaman sebelum kerajaan Majapahit. Nyai Nilam Sari adalah istri Eyang buyut Tirtoloyo, sedang Pendekar Watu Kendit dan Pendekar Wali Mas adalah putra mereka. Saat ziarah, urutan pertama kali harus menuju ke Eyang buyut Tirtoloyo yang berada di sebelah paling Timur, setelah itu menuju ke makam Nyai Nilam Sari yang berada di sebelah paling barat. Lalu baru ke makam di tengah, yaitu makam Pendekar Watu Kendit dan Pendekar Wali Mas.
Tidak jauh dari punden ini terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Sumber mata air ini tidak begitu besar, namun tetap mengalir meski di musim kemarau. Aliran air terbendung dalam sebuah kedung yang tidak begitu besar. Yang menarik, ada kisah folklore yang melatarbelakangi lahirnya mata air ini. Kisah kerja keras Eyang Tirtoloyo beserta istri dan kedua anaknya dalam babat alas Dusun Tawangsari yang kemudian menemukan Sumber Air Tawangsari.
Eyang Tirtoloyo seorang yang sakti mandraguna. Beserta keluarganya, mereka mengembara, mengasingkan diri bersama dua orang anak mereka yang sudah beranjak dewasa, yakni Arya Diningrat dan Prawiro Dirjo. Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di suatu daerah yang belum memiliki nama. Daerah itu kering dan susah mendapatkan air. Untuk kelangsungan hidup, mereka harus menemukan sumber air.
Sekuat tenaga ke empat anggota keluarga ini terus mencari sumber air. Eyang Tirtoloyo mendapat petunjut untuk menggali tanah yang biasa ia duduki. Maka dibantu kedua putranya, mereka mulai menggali. Beberapa minggu berlalu. Namun usaha menggali mereka belum menemukan tanda-tanda sumber air. Tanah masih kering. Mereka kadang berselisih untuk mengubah titik penggalian. Namun Eyang Tirtoloyo tetap pada pendiriannya.
Suatu hari, ketika giliran Prawiro Dirjo yang menggali tanah, ia mendapati tanah yang sangat susah di gali sampai mematahkan alat penggalian. Sudah tujuh alat yang di pakai menggali. Kini tinggal satu. Begitu alat yang terakhir ini dipakai tiba-tiba tanah yang di gali berwarna kuning. Prawiro Dirjo sangat kaget, ia menemukan pasir mas. Karena penemuannya itu Prawiro Dirjo di juluki Pendekar Wali Mas. Selepas satu minggu menggali, pasir emasnya sudah tidak lagi keluar. Prawiro Dirjo lalu jatuh sakit dan beristirahat untuk memulihkan tenaganya.
Arya Diningrat melanjutkan menggali tanah itu sampai dalam berpuluh-puluh meter. Ia terus menggali hingga lapisan tanah berbatu. Lapisan tanah batu itu sudah tampak lembab dan berangsur mulai basah. Dari sela-sela batu itu akhirnya keluar air yang terus mengalir meski tidak banyak. Karena Ia telah menggali tanah hingga menembus batu-batu yang akhirnya menglirkan sumber air, ia dijuluki Pendekar Watu Kendit. Arya Diningrat bermaksud terus menggali lapisan batu itu agar bisa mengalirkan air lebih deras. Namun tenaganya tidak memungkinkan lagi. Arya Diningrat jatuh sakit dan harus istirahat memulihkan tenaga.
Eyang Tirtoloyo melanjutkan menggali ditemani istrinya Nyai Nilam Sari. Saat menggali, alat yang di pakai patah karena terbentur sesuatu yang keras, seperti lempengan batu. Nyai Nilam sari terkejut saat mengambil benda itu. Ternyata sebuah kendi besar terbuat dari giok. Ketika kendi itu di angkat, keluarlah air dari dalam tanah. Nyai Nilam sari mengambil kendi itu dan diisilah kendi itu dengan air yang baru keluar tadi. Ia membawa pulang kendi itu. Sesampai di rumah tiba-tiba air di dalam kendi mendidih. Nyai Nilam Sari mendapat petunjuk untuk meminumkan air kendi ke kedua putranya yang lagi sakit. Tidak lama kedua putranya jadi sembuh.
Air dari sumber di bawah kendi terus mengalir. Bahkan airnya membanjiri halaman. Eyang Tirtoloyo lalu membuat kedung untuk menampung air agar bisa dimanfaatkan bagi membutuhkan. Lama kelamaan sumber air ini semakin deras. Sampai terbentuk sungai yang bisa di pakai untuk mengairi sawah. Eyang Tirtoloyo memberi nama tempat ini Sumber Air Tawangsari yang berarti berkah dari langit yang disalurkan dari inti sari bumi dalam wujud sumber air bening, yang tak pernah kering dan selalu memberi manfaat untuk kemakmuran. Sejak itu Eyang Tirtoloyo disebut Pendekar Banyu Bening.
Eyang Tirtoloyo tinggal di Tawangsari bersama keluarganya hingga akhir hayatnya. Mereka dimakamkan di kediaman mereka yang kini menjadi punden yang masih suka dikunjungi para peziarah. (Lts/Lha)