TEMA-Folklore: Kintelan adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Desa ini memiliki tiga dusun, yaitu Dusun Sumberejo, Dusun Kertoharjo, dan Dusun Brangkal. Luas Desa Kintelan sekitar 200.000 meter persegi. Desa ini berkembang menjadi desa dengan sumber daya alam utama berupa sawah dan kebun. uSelain bertani dan berkebun, saat ini masyarakat di sana juga mengembangkan berbagai industri rumah tangga, seperti produksi sepatu dan tas.
Awalnya desa ini adalah hutan belantara yang berada di sisi sebelah Timur Kerajaan Majapahit. Banyak makhluk menghuni hutan tersebut, tak hanya binatang dan rimbun pepohonan, namun juga dari bangsa jin dan peri perahyangan yang hidup selaras dengan alam. Di dalam hutan, mengalir sungai yang bersih dan jernih. Tampak ikan-ikan yang asyik berenang, juga beberapa katak kecil berlompatan dari paras ke paras. Paras adalah batuan sungai yang besar.
Dikisahkan, pada suatu masa melintaslah prajurit berkuda kerajaan melintas hutan di sisi sungai. Mereka mengawal seorang putri yang berada di dalam tandu. Saat melihat kejernihan air sungai, putri itu turun ke arah sungai dengan diikuti oleh beberapa pengawal kerajaan. Ia ingin membasuh kakinya di aliran sungai yang jernih. Saat berada di atas salah satu paras, tiba-tiba seekor katak kecil melompat ke atas ibu jari kakinya. Seketika tuan puteri terkejut dan jatuh terpeleset ke sungai. Reflek tuan putri mengutuk dan menyumpai si katak.
Tak lama berselang, tiba-tiba langit yang awalnya sangat cerah berubah menjadi mendung dengan gelegar suara guruh mencekam diakhiri sambaran petir ke arah tuan putri. Yang mengubahnya menjadi katak kintel. Seluruh prajurit kerajaan pergi meninggalkannya karena ketakutan. Dalam kebingungan, terdengarlah suara yang begitu besar menggelegar. Suara itu adalah suara penunggu sungai yang marah atas kata-kata kasar cerminan kesombongan tuan puteri.
Namun apa daya sudah telanjur, tuan putri itu menjadi kintel. Dengan penyesalan ia melompat ke dalam air dan membuat lubang berlindung. Kintel jelmaan tuan putri itu kemudian bertapa untuk mendapat pengampunan. Selama menjadi katak, ia bertapa dan selalu berdoa untuk menjaga keharmonisan alam di sekitar pertapaannya. Ia menikmati hari-harinya menjadi seekor katak yang hidup bersama makhluk-makhluk lainnya di sungai. Semua penghuni sungai menyukainya. Katak-katak kecil tetap berlompatan di sekitarnya. Ikan-ikan dan bulus berenang dan berlindung di lubang kedung yang dibuat oleh sang kintel.
Ada saat-saat dimana ia berubah menjadi seorang puteri dan berdiri di sisi sungai memberi pertanda pada setiap prajurit yang melewati jembatan itu bahwa dirinya masih bertapa di sungai. Ia berharap sekali mereka tak meninggalkannya. Namun tak banyak dari mereka yang mempu menyadari keberadaannya. Hingga masa demi masa berlalu.
Hingga pada suatu masa hiduplah seorang wanita tua bernama Nyai Karni di sebuah gubuk di tengah hutan. Ia memiliki kegemaran bercocok tanam di sekitar rumahnya. Suatu hari ia ingin pergi ke sebuah sungai di sebelah timur gubuknya. Tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang sangat cantik di sebuah batu besar bersama beberapa katak kecil dan bulus di sekitarnya. Wanita cantik itu menyadari kehadiran Nyai Karni kemudian ia berubah menjadi Kintel kembali.
Nyai Karni sungguh terkejut dengan apa yang dilihatnya. Namun sang pencipta rupanya memberikan kemampuan Nyai Karni hingga ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan tuan putri. Jadilah tuan putri itu bisa bercakap-cakap dengan Nyai Karni. Mereka menjadi teman ngobrol hingga puluhan tahun berselang, Nyai Karni semakin renta hingga ia akhirnya meninggal dunia. Selepas kepergian Nyai Karni, tuan putri tidak memperlihatkan diri lagi.
Katak kintel jelmaan putri memperlihatkan diri lagi ketika suatu masa di sisi utara sungai hiduplah seorang Empu pebuat benda-benda pusaka bernama Mbah Pandhe. Salah satu pengguna jasanyanya seorang panglima berpengetahuan tinggi bernama Mbah Singosari. Mbah Singosari sangat sering berkeliling mengamati lingkungan yang ada di sekitarnya hingga pada suatu hari melewati sisi sungai. Ia melihat seorang wanita cantik yang berdiri. Wanita itu jelmaan putri yang menjelma katak kintel itu menceritakan kelalaiannya hingga menjadi katak kintel. Mbah Singosari takut keramaian penduduk yang ia kumpulkan mengganggu pertapaan katak kintel. Namun, ternyata tidak. Wanita itu lalu menunjukkan lokasi pertapaannya pada Mbah Singosari.
Setelah kejadian itu, Mbah Singosari mengumpulkan warga dan menamai kampung itu Kintelan. Ia menjelaskan pada warga bahwa di sebuah lubang dekat dengan sumber air hidup seorang puteri yang sedang berjuang dengan bertapa. Ia menjelma menjadi seekor katak Kintel. Warga setuju. Mbah Singosari kemudian dikenal sebagai Mbah Pathok, karena Mbah Singosari yang pertama kali menamai wilayah tersebut. Konon hingga kini sang Putri yang menjelma menjadi Kintel masih sering menampakkan diri. Jembatan ini menghubungkan antara desa Kintelan dan Brayung. (Fra/Lha)