Karya Sastra, Sastrawan, dan Penghargaan

Dipublikasikan oleh newsportal

12 Nov, 2024

 

TEMA-Humaniora: Setiap tahun ada penghargaan sastra yang diberikan Balai Bahasa Jatim untuk beberapa kategori seperti karya sastra terbaik, guru bahasa dan sastra berdedikasi, komunitas sastra terbaik, dan sebagainya.

Penghargaan itu setidaknya dapat menjadi motivator bagi para pegiat sastra untuk semakin giat berkarya untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu. Bukan semata-mata untuk sesuatu yang bernama “hadiah” namun lebih pada fungsi sosial sastra itu sendiri sebagai media untuk menyampaikan aspirasi, pemikiran, dan hiburan.

Menulis karya sastra sepintas tampak mudah namun sebenarnya tidak. Benar bahwa karya sastra itu bukan karya ilmiah yang memerlukan referensi yang ketat, misalnya pada pengutipan sumber tulisan tetapi kenyataan untuk menghasilkan karya yang bermutu perlu observasi, baca banyak buku, investigasi, dan sebagainya. Kemudian imajinasi sebagai bahan baku utama karya sastra

ditambahkan pada ketiga unsur tersebut.Imajinasi tentu tidak ditemui dalam karya ilmiah. Imajinasi itu seringkali menembus batas logika dan akal sehat. Imajinasi adalah unsur sangat penting dalam sebuah karya sastra yang harus dibangun oleh setiap sastrawan. Dan imajinasi setiap orang itu pasti berbeda-beda. Itulah uniknya bahan baku karya sastra.

Kelihaian mengolah imajinasi dan memproses kreatif segala fenomena sosial dalam kehidupan sehari- hari menjadi teks fiksi, baik itu puisi, cerpen maupun novel, akan menghasilkan karya sastra yang bermutu. Meski mutu karya sastra itu relatif, tergantung kepentingannya, setidaknya ada standar umum bagi sebutan karya sastra bermutu yang dapat diterima secara universal di masyarakat.

Karya sastra sangat dipengaruhi keadaan zamannya. Dinamika sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya senantiasa dinamis sehingga mempengaruhi karya sastra yang dihasilkan karena sasatrawan sebagai subjek kreator karya sastra itu adalah anggota masyarakat dan merupakan bagian sebuah zaman. Maka, setiap zaman melahirkan karya-karya sastra yang mewakili zamannya dan sekaligus menjadi dokumentasi sosial. Oleh sebab itu, tak berlebihan kiranya jika ingin mengetahui dinamika sebuah bangsa dari zaman ke zaman, bacalah karya sastranya.

Sebagai manusia, sastrawan juga tidak bisa lepas dari sistem sosial sehingga ia juga terikat dengan aturan- aturan sosial yang secara langsung atau pun tidak harus dijalaninya. Secara historis sastrawan didominasi oleh wartawan, guru/dosen, dan pekerja seni lainnya. Artinya, profesi sastrawan yang murni itu sulit ditemukan. Orang yang benar-benar mengabdikan diri pada dunia kesusastraan dengan menjadi penulis karya sastra secara penuh jarang ditemui. Dengan demikian, sastrawan adalah second job bagi seseorang.

Dari kejarangan itu sebagal misal Dadang Ari Murtono (dan mungkin masih ada lagi) yang mengklaim dirinya sebagai penulis penuh waktu (full time) dan tak ingin dirinya disebut penulis paruh waktu apalagi freelance. Dengan menjadikan menulis sastra sebagai profesi (baca:pekerjaan) maka konsekuensinya ialah kebutuhan hidup harus terpenuhi dari ladang profesi tersebut. Pada tahap ini saya benar-benar tak bisa memahami pilihan mereka. Kita tahu berapa honor ketika sebuah karya sastra, misalnya cerpen, dimuat di surat kabar. Itu pun “hanya” setiap minggu, bukan hari.

Dari sana penghargaan sastra untuk apa pun jenis sastra bagi sastrawan dan pegiat sastra sepatutnyalah dilakukan dan sudah selayaknya sastrawan mendapatkan penghargaan bukan sekadar sertifikat, alih-alih memberi penghasilan bagi para sastrawan, pejuang kemannusian, pejuang literasi dan pemilih jalan sunyi kesastraan. Semoga profesi sastrawan dapat tetap mempertahankan eksistensinya sampai kapan pun sebagai penyeimbang kehidupan yang penuh hiruk pikuk.

Penghargaan sastra mungkin berdampak positif bagi perkembangan cipta sastra. Mungkin sastrawan pemula akan terpacu berkarya untuk mendapatkan pengakuan supremasi sastra itu. Pasti ada kebanggaan di sana. Dengan kebanggaan itulah kreativitas akan terus tercipta seperti air mengalir dari mata air menuju muara para pembaca dan penikmat sastra. Dengan kebanggaan imajinasi akan terus tumbuh dan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Sekali lagi mari mengapreasiasi karya sastra. Mari menghargai karya sastra dengan membaca karya sastra dan syukur-syukur membeli buku sastra itu untuk koleksi pribadi maupun tempat kerja. Buku sastra bisa untuk mengisi waktu ketika kita menunggu, buku sastra ialah media rekreasi portable yang tidak terlalu mahal. Kemana-mana membaca buku sastra itu keren.

 

Suwarsono, M. Pd. lahir di Mojokerto pada 17 Mei 1969. Saat ini bekerja sebagai guru di SMP Negeri 1 Puri Kabupaten Mojokerto dan dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNIM Mojokerto. Buku-buku yang sudah diterbitkan diantaranya Lubuk Hati Sungai Brantas (2018), Sang Calon (2019), Saat Harus Memilih (2020), dan Nyanyian Hujan (2021).

#BERITA REKOMENDASI