Tak pernah kusadari, mengapa setiap menatap matanya serasa memandang telaga biru bertepikan hutan cemara seperti yang kami hadapi saat itu. Sebuah telaga di kaki bukit Panggung tempat kami sering berenang, bermain rakit dan memancing ikan gabus dan gurami. Seperti matanya, sepanjang tahun telaga itu tak pernah keruh, pun saat musim kemarau air tak surut.
Di tepi telaga itu aku sering menemaninya bermain air dan menangkap kupu-kupu berwarna warni. Nurahajeng, namanya. Rambut ikal dikucir dua, mirip rambut jagung yang baru menyembul dari tongkolnya. Tetapi bukan rambut itu yang menarik perhatianku, melainkan tatapan matanya yang teduh. Di tempat itu, dia serupa bidadari yang selalu dikelilingi sekawanan kupu-kupu kuning nan cantik.
“Aku ingin mendayung perahu menuju seberang sana,”
“Aku terbiasa mengantar pengunjung dari kota. Tetapi aku lebih suka getek, batang pisang yang kurangkai menyerupai rakit,”
“Bukankah ada sampan di tambatan itu?”
“Sampan itu terlalu mudah mendayungnya. Lagipula dengan getek aku bisa bermanuver di atas air.”
“Mirip cerita klasik Jaka Tingkir,”
“Bukan Tingkir, tetapi Lantip. Sama-sama jejaka dari udik yang berjuang untuk hidup sendirian,”
Sejenak dia menatapku, seolah ingin ikut merasakan perihnya hidup tanpa bapak tanpa ibu. Awan putih di langit biru membayang di permukaan telaga bening. Senja menjelang, matahri meredupkan sinarnya. Kupu-kupu kuning sudah tak nampak di mana mereka menangkupkan kedua sayapnya.
Tak ada yang tahu dari mana gadis remaja bermata bening itu berasal. Kampung Mengger di kaki bukit Panggung menerima kehadirannya sebagai bidadari dari langit yang dititipkan di sebuah keluarga yang tidak memiliki anak karena lelakinya mandul. Jadilah dia warga kampung yang paling beda baik warna kulit, bentuk mata, rambut yang ikal dan postur tubuh. Sekalipun demikian, orang-orang tidak pernah menggunjingkannya. Semua sudah maklum bahwa gadis itu bukan anak Paman Karju dan Bibi Tampi, keluarga yang dititipi.
“Bagaimana kamu bisa hidup tanpa orang tua?” tanyanya ketika mengikutiku menghalau kambing di pematang sawah selepas musim panen. “Bukankah di kota ada kakak. Kamu bisa kerja apa saja. Di kota banyak uang,”
“Aku tak mau menjadi beban orang lain, meski kakakku sendiri. Mereka sudah berkeluarga, saya pun kelak seperti mereka,”
Dia memandang capung yang hinggap di pucuk batang di atas air. Matanya tak berkedip, ada bayangan telaga teduh di kelopaknya. Sekelompok anggang-anggang asyik berdansa di atas air yang tenang membentuk konfigurasi unik. Tetapi capung dan anggang-anggang terusik ketika air mendadak tersibak, seekor katak melompat mengejar mangsanya.
“Kamu sendiri, mengapa tinggal di tempat ini?” tanyaku memecah keheningan. “Bukankah hidup di kota lebih enak?”
Dia menengok padaku dan memberikan selembar senyuman. Tak segera memberi jawaban, tetapi dari mata yang indah itu aku bisa menangkap kesan bahwa dia ingin merahasiakan semuanya. Aku tidak berani memaksanya menjawab pertanyaanku seperti aku juga tak ingin dipaksa menjawab mengapa aku bertahan di tempat ini sendiri.
Melihat kedekatan kami, orang-orang sering menggunjing meski tidak terang-terangan. Mereka menggunakan bahasa pasemon atau perumpamaan khas kampung yang tak semua orang paham, hanya mereka yang tahu. Lamat-lamat kudengar mereka mengibaratkan aku sebagai tokoh Jaka Tarub dalam legenda Babad Tanah Jawi, dan Nurahajeng dikatakan titisan Dewi Nawangwulan.
Barangkali terdapat persamaan antara kisah kami dengan legenda tersebut. Aku sendiri seperti penguasa tempat itu karena setiap orang yang ingin berekreasi selalu menggunakan jasaku menyeberang menuju kaki bukit, tempat air terjun yang dinamai grojogan sewu oleh orang-orang sekitar.
“Kamu setuju kita disamakan dengan tokoh legenda itu?” tanyanya ketika suatu sore kami menikmati semilir angin di tepian telaga.
“Bukan hanya setuju, lebih dari itu aku menikmati peran tokoh yang gagah, memiliki kesaktian meski hidup sebatangkara,”
“Ending kisah itu sangat tragis ya. Dewi Nawangwulan kembali ke kahyangan meninggalkan Jaka Tarub sendirian,”
“Lebih kasihan si Dewi Nawangwulan. Ketika pulang, bidadari itu sudah tidak lagi diakui sebagai anggota keluarga kadewatan karena statusnya sebagai isteri rakyat jelata.”
“Aku menunggumu,” desahnya.
Dan perpisahan itu datang juga ketika serombongan aparat menjemputnya. Nurahajeng harus menjalani kehidupan baru di pusat rehabilitasi sosial ketergantungan narkoba. Sejam sebelumnya dia sempatkan mengajakku menengok gubuk di tepian telaga. Pandangannya jauh ke seberang telaga menyisir pucuk-pucuk pinus. Di matanya kulihat ada genangan bening, meleleh membasahi pipi, hidung, kemudian jatuh di tepian telaga.
###
Purwokerto, Agustus 2021.
Yonas Suharyono, pensiunan guru SMPN 1 Cilacap. Menulis cerpen, puisi, novel, dan opini di beberapa media lokal dan nasional. Kini menetap di Purwokerto.