Menikmati Jalan Puisi

Dipublikasikan oleh newsportal

15 Aug, 2024

 

Seperti kepada seorang kenalan baru, seantusias itu biasanya seseorang mengenal puisi. Seorang penulis puisi pemula biasanya disibukkan dengan kata-kata berima dan tipografi. Yang konvensional menganggap bentuk berbait-bait yang berisi larik-larik puisi sudah sah disebut puisi. Atau kalau mau agak kontemporer, diciptakanlah tipografi berupa zigzag seperti puisi Winka dan Sihkanya Sutardji Calzoum Bachri dan bentuk-bentuk segala rupa. Jika mau belajar mbeling, mengikuti gaya kepenulisan Remy Sylado yang sejak tahun 70-an sudah menekuni kembelingannya. Gayanya menggelitik, sedikit seronok, dan vulgar terasa menjentik-jentik telinga dan hati pembacanya.

Dalam sebuah bincang sastra, seorang penyair sekaligus akademisi membedakan istilah penulis dan penyair. Kalau seseorang menulis puisi hanya karena diminta atau karena mau tuntutan lomba, pastilah ia seorang penulis puisi. Seorang penyair bisa menulis puisi kapan saja, di mana saja, tidak bergantung permintaan. Baginya puisi lahir dari hati dan rasa, bukan karena dituntut dari luar dirinya. Secara nylekit, ia menggolongkan penulis puisi sebagai buruh, pesuruh, dan jongos sastra, sedangkan penyair merdeka, tuan atas tulisannya. Dengan orientasi yang berbeda itu pastilah dapat dibedakan kualitasnya.

Tetapi bagaimana pun, waktu menjadi penentu kesetiaan. Sejak perkenalan pertama dengan makhluk bertajuk puisi, seorang penulis yang tampak getol menekuni dunia puisinya belum tentu dalam puluhan tahun berikutnya punya semangat yang sama. Pada umumnya jauh lebih banyak yang berguguran dan meninggalkan puisi, terlebih-lebih bila hatinya terluka karena puisinya jarang atau tidak pernah dimuat di media.

Bukan hanya puluhan orang yang pernah patah hati gara-gara gagal menulis puisi atau tidak menang dalam lomba. Selain puisi sedikit banyak bergantung pada selera penyelenggara lomba atau redaktur media, puisi-puisi gagal karena menganggap pembacanya bodoh, perlu digurui, disajikan simpulan yang rapi jali yang menjadikan pembaca atau penikmat puisi menjadi mual. Eksplorasi menikmati puisi menjadi lenyap karena keangkuhan penulisnya yang merasa harus menjelaskan semua yang dituliskannya. Pembaca telah dirampas hak prerogatifnya dalam menikmati bacaan puisinya. Puisi-puisi itu tidak memerdekakan pembacanya tetapi mencekokinya dengan persepsi ciptaan penulisnya sendiri. Penulisnya melulu menganggap bahwa puisi adalah objek mati yang harus disajikan dalam piring saji pilihannya sendiri. Pembaca puisinya dianggap benda mati, bukan subjek penikmat puisi.

Dalam sebuah penjurian, tidak jarang ditemui puisi-puisi lebar. Yang dimaksud di sini adalah puisi yang memuat banyak topik dan lupa memfokuskan salah satunya saja. Lagi-lagi, penulis puisi ini merasa harus memberikan semua hal yang diketahuinya, berbagai persoalan yang merenggut pikirannya untuk dituangkan. Puisi jadi tampak berat tetapi mengambang saja karena tidak ada kedalaman di dalamnya, tidak memberi perhatian pada satu topik kecil.

Kadang kala sebuah benda sederhana atau peristiwa kecil bisa memantik sebuah puisi untuk ditulis. Meskipun sederhana, penulis yang jeli dan mampu menangkap metafora dan simbol-simbol berupa benda itu bisa memaknainya sebagai sebuah kegelisahan yang menjadikannya menulis. Seorang Joko Pinurbo yang fokus pada sebentuk celana, mampu menuliskan puisi “Celana”, bahkan bercelana-celana hingga menjadi sebuah kumpulan puisi “Celana”. Sekali lagi, persoalannya bukan pada materi, tetapi kekurangmampuan mengamati hal yang tampak sepele. Puisi lebar bukan berarti layak dilempar ke tempat sampah. Materinya dapat dipecah dan dijadikan beberapa topik baru, anak-anak topik baru yang mampu menjadi puisi baru.

Andai kesulitan menulis puisi, ada baiknya mencari analogi karya kepenulisan. Konon dikatakan bahwa perlu membaca minimal sepuluh buku barulah bisa menulis setengah buku. Jika tidak pernah secara intens membekali diri dengan membaca puisi-puisi penyair berkelas, bagaimana mungkin bisa menulis puisi. Itu sama dengan pertanyaan, apa yang mau diberikan kalau tidak pernah memiliki? Penulis yang telah banyak membaca karya cenderung lebih tidak sulit menuangkan idenya dalam karya.

Puisi pun membutuhkan passion dari penciptanya. Passion tentu tidak serta merta tercipta dalam diri seorang penulis puisi. Kesetiaan dalam berproses dan terus-menerus belajar akan menguatkan passion seseorang dalam berpuisi. Kita mengenal penyair-penyair terkenal Indonesia, seperti Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, dan Joko Pinurbo. Mereka tidak tetiba menjadi penyair. Kesetiaannya pada puisi dan kesediaan terus-menerus untuk belajar menjadikan mereka besar dan dikenal.

Kemampuan menangkap dan menginterpretasikan kejadian-kejadian di sekitar dengan indera yang dimilikinya, mengolah persoalan itu dalam hati dan pikirannya, dan membahasakan kegelisahan hati atas persoalan itu ke dalam bahasa tulis menjadikan puisi bermakna. Kebermaknaan puisi sekali lagi bukan berdasarkan luas sempitnya topik tetapi kepiawaian penulisnya menangkap simbol-simbol, meramu pergulatan batin yang bermetaforakan benda-benda yang kasat mata, meramu dengan pilihan kata yang tepat dan sarat makna.

Sebuah harapan besar bahwa puisi Indonesia benar-benar mencerminkan masyarakatnya sendiri. Harapan itu tentu juga dimaknai sebagai undangan bagi semua orang yang tertarik untuk menulis dan membaca puisi. Puisi hendaknya mampu menjadi cermin bening kemajuan sastra di Indonesia dengan tema yang makin beragam, puisi yang mampu menggerakkan masyarakatnya untuk berbuat sesuatu yang lebih baik bagi Indonesia. Kiranya demikianlah fungsi sastra sejatinya, sebagai dulce et utile seperti kata Horatius yang dikutip A. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Ars Poetica, mendidik dan menghibur.

Pada akhirnya, puisi akan memiliki jalannya sendiri. Ia akan menentukan nasibnya sendiri. Penulis puisi perlu menikmati jalan puisi, mengalami jatuh bangunnya, merasakan ditolak dan dikritik pedas, menghidupi perjalanan dengan ketekunan membaca tiada henti akan membawa puisi-puisi ciptaannya pada kelasnya tersendiri. Seperti apa dan bagaimana respons pembaca, antusias membaca karya atau sekadar dianggap serupa daun-daun yang jatuh berguguran tanpa makna, puisi akan ada di sana, pada nasibnya semata.

*) Maria Lidwina Ika Haryundari, pengajar di Batam, penulis novel Felix Culpa (2016), dan Sasando Sunyi (2018).

#BERITA REKOMENDASI