TEMA-Humaniora: Selain menuangkan pemikiran dan perasaan terhadap kehidupan, salah satu hal yang menarik dalam menulis puisi adalah dapat menyuarakan pendapat, ide, gagasan, kritik, kemarahan, hingga nasihat akan berbagai aspek kehidupan di sekitar kita. Seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Hal ini dapat mengasah kemampuan berpikir kritis dan empati terhadap lingkungan, yang menjadi kepekaan seorang penulis/penyair. Karena puisi adalah pekerjaan hati dan akal.
Ada beberapa atau bahkan banyak orang, menulis “puisi” hanya sekadar menyusun kata demi kata dalam kalimat lalu disusun menjadi bait demi bait dan nampak seperti sedang bermain-main dengan bahasa. Pada sebagian lain puisi merupakan wasilah dari sebuah pengalaman batin atau sesuatu yang bergerak dan bergelombang serta bergemuruh dari batin penyairnya, karena penyair adalah pengamat sosial yang tak akan melewatkan begitu saja setiap peristiwa atau fenomena dalam kehidupannya. Ia akan mencatat dan merespon peristiwa itu dengan sebuah renungan yang termaktub dalam “Puisi.”
Membaca kumpulan puisi Safandi Mardinata, dengan imaji-imaji berbagai aspek kehidupan, sesuatu hal yang menarik bagi saya, seperti dalam puisi, Menyeduh Kopi Bali;
MENYEDUH KOPI BALI
menyeduh kopi bali, dunia pagi
embun membelai daun
daun menimang embun
menyeduh kopi bali, teringat
masa pakansi
arus selat dan pengap ventilasi
keringat para penari
senyum mbok dan bli
selalu menarik-narik
ingatan untuk kembali
menyeduh kopi bali, mengingatkan
pada ketelanjangan nurani,
yang tulus dan berani
yang tak cukup sekadar dihalangi
oleh bikini
menyeduh kopi bali
sesaat melenakan dari situasi
gonjang-ganjing politik
yang debu-debunya mengotori
ruang hati, menyeduh pagi
menyeduh kopi bali
Membaca puisi di atas, ingatan saya langsung menuju pulau dewata beberapa waktu silam. sebuah tempat dengan sosial budaya yang kental, sekental kopi bali, namun sangat nyaman untuk kita menikmati waktu. Lalu apa hubungannya dengan Menyeduh Kopi Bali? Safandi Mardinata sepertinya menyampaikan sebuah rasa pada ingat bahwa di Bali tempat yang tepat untuk menenangkan diri dari segala hingar bingar kehidupan, menikmati waktu untuk menjernihkan pikiran dengan keindahan yang luar biasa, seperti di bait pertama // menyeduh kopi bali, dunia pagi // embun membelai daun // daun menimang embun//.
Ada keintiman saat aktivitas pagi dimulai, dimana penyair memainkan embun dan daun, embun tak hanya punya makna mendalam. Namun, ini juga terkesan puitis sehingga dapat memberikan semangat berlebih. Embun identik dengan pagi hari. Saat embun hadir, biasanya udara akan terasa sangat sejuk. Manusia dapat belajar dari embun, sederhana, menyejukkan namun tidak merusak dedaunan tempat di mana ia berpijak.
Hal itu yang yang dapat saya tangkap dari nukilan puisi di bait pertama yang diperkuat dengan bait berikutnya //menyeduh kopi bali, teringat masa pakansi// arus selat dan pengap ventilasi// keringat para penari// senyum mbok dan bli// selalu menarik-narik ingatan untuk kembali.// Betapa Bali menjadi sesuatu yang sangat melekat di hati penyair, dengan keramah tamahan masyarakatnya, keindahan budayanya, dalam sebuah perjalanan panjang dari perenungan batin yang mendalam dari kehidupan yang dijalani penyair saat ini.
Pada bait ketiga ada kalimat //pada ketelanjangan nurani, yang tulus dan berani//yang tak cukup sekadar dihalangi// oleh bikini// disinilah titik batin penyair memainkan perasaan, pandangan moral, estetika, dan budaya bagaimana kita melihat sesuatu yang tak harus menilai sesuatu itu pada tempat yang berbeda. Dan saya sangat takjub ketika penyair menutup puisinya dengan kalimat, // menyeduh kopi bali// sesaat melenakan dari situasi// gonjang-ganjing politik // yang debu-debunya mengotori // ruang hati, menyeduh pagi //
Bagi saya ini sebuah twist yang indah, bagaimana penyair ingin mengkritisi dunia politik kita yang gaduh, dunia politik kekanak-kanakan yang dengan mudahnya orang berbicara tanpa tedeng aling-aling. Puisi ini ditutup dengan kalimat persis dengan judul // menyeduh kopi bali // sebuah makna yang bisa diurai, dan kalimat menjadi bersayap dan penuh misteri. Bukankah dengan ciri-ciri demikian puisi dianggap berhasil? meski terlihat dengan narasi sederhana, puisi pendek ini diksi dan rimanya menurut saya berhasil. Sebab rima adalah salah satu kriteria yang membedakan puisi dengan kalimat lain.
Puisi-Puisi karya Safandi Mardinata yang terkumpul dalam antologi Setelah Ingar Bingar ini, merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata-kata ringan. 107 puisi puisi pendek ini akan membuat kita larut ketika membacanya. Dari semua sisi aspek kehidupan ada dalam kumpulan puisi ini, seperti kita diajak menikmati secangkir kopi Bali yang pekat hasil seduhan penulis.
Puisi di dalamnya tidak akan membelalakkan mata karena sangat mudah dicerna dan tidak menggunakan bahasa-bahasa sastra tinggi yang asing di telinga, tetapi tetap sarat makna, indah, dan sangat bercerita. Puisi-Puisi pendek ini bagi saya adalah puisi ekspresi penuh impresi yang mampu menggiring pembaca untuk menyelami makna yang terkandung di dalamnya. Puisi pendek bukan berarti miskin ide, dan bukan sesuatu yang mudah karena penyair harus bisa memadatkan kata/sintaksis, mengumpulkan banyak ide atau pengalaman batin penyair menjadi sebentuk puisi pendek yang lentur dan nikmat untuk dikunyah.
Penulis:
Khalid Alrasyid, biasa dipanggil “Gagak”. Penikmat dan Pecinta Sastra terlahir di Pamekasan dan menetap di Mojokerto. Executive Editor & Executive Director, “Homagi International Literary Magazine” yang juga Penggagas Puisi Sembilan Baris (Semaris) bersama Nurul Swandari.