DUNIA pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan berbanding lurus mengikuti perkembangan ilmu, teknologi, dan arus informasi dunia. Dunia pendidikan yang identik sebagai jalan bagi manusia untuk menjadi lebih baik, dituntut mampu beradaptasi dengan segala perubahan di dunia. Untuk itulah segala komponen pendukung dunia pendidikan pun harus mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang ada, termasuk di dalamnya adalah peserta didik, guru, pemangku kebijakan, dan pemerintah.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi dunia pendidikan di Indonesia, telah melakukan banyak cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, seperti melalui penambahan jumlah anggaran pendidikan dalam APBN, peningkatan kualitas sarana prasarana, peningkatan jumlah dan kompetensi guru, dan melalui sistem pendidikan yang dibalut dalam model kurikulum pendidikan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia tercatat telah menerapkan sejumlah kurikulum yang berbeda, dimulai sejak era 1947-1994, era 2004, 2006, 2013, hingga kini kita mengenal era Kurikulum Merdeka yang menjunjung konsep merdeka belajar.
Kurikulum Merdeka yang awalnya dikenal sebagai kurikulum prototype ini, menurut penulis, hakikatnya adalah bentuk pengembangan dan evaluasi dari Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 yang berkembang sebelum Kurikulum Merdeka, berfokus pada pencapaian kompetensi dasar dengan menggunakan pendekatan saintifik untuk semua mata pelajaran. Pada umumnya, pembelajaran pada Kurikulum 2013 berfokus pada kegiatan intrakurikuler serta menguatkan pelaksanaan penilaian autentik di setiap mata pelajaran. Hal ini berbeda dengan konsep merdeka belajar yang diusung dalam Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini dinilai oleh beberapa pakar pendidikan sebagai salah satu cara untuk mengatasi hilangnya pembelajaran (learning loss) di Indonesia selama masa pandemi. Melalui merdeka belajar yang diusung dalam Kurikulum Merdeka, diharapkan akan terbentuk karakter-karakter pelajar pancasila yang tidak berfokus pada kemampuan kognitif saja.
Konsep Merdeka Belajar
Pada dasarnya konsep merdeka belajar adalah sebuah pendekatan yang diadaptasi dari filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam upayanya mengembangkan budi pekerti (olah cipta, karya, karsa, dan raga) yang terpadu menjadi satu kesatuan. Menurut Hajar Dewantara, mendidik dan mengajar adalah proses memerdekakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental, jasmani, dan rohani.
Namun, kemerdekaan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara ini menurut penulis bukanlah sebuah kemerdekaan yang bersifat mutlak. Kemerdekaan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara ini tetaplah berlandaskan pada budaya dan tata krama. Filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menggambarkan tokoh Semar sebagai seorang yang sakti namun tidak sombong adalah sebuah gambaran hasil dari proses pendidikan yang tetap mengutamakan dan memerhatikan akhlak mulia sebagai tujuannya.
Sejalan dengan filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara tersebut, untuk menghadapi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah meluncurkan kebijakan merdeka belajar. Langkah awal yang diperlukan dalam penerapan kebijakan ini adalah memerdekakan cara berpikir seluruh penggerak dunia pendidikan.
Berpedoman pada pendapat Nadiem Makarim, kemerdekaan berpikir harus dimulai dari para guru sebelum mengajar anak-anak didiknya. Bagi penulis, hal ini adalah sebuah tantangan. Sebagai manusia Indonesia, sebagai seorang guru yang merdeka, penulis harus mampu berpikir secara rasional, kuat, berdaya untuk membawa dan membimbing anak-anak didik agar mampu menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Konsep merdeka belajar juga dinilai lebih fleksibel, memberikan keleluasaan pada guru untuk menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakter peserta didik. Guru diberikan kebebasan dalam memilih aplikasi, referensi untuk mengembangkan praktik mengajarnya, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Konsep Merdeka Belajar dengan Segala Tuntutan dan Tantangannya
Setiap kebijakan dan program yang digulirkan tentu ada tantangan tersendiri, tak terkecuali konsep merdeka belajar yang diusung di dalam Kurikulum Merdeka yang mau tidak mau harus kita hadapi. Kesiapan sarana, prasarana, terutama sumber daya manusia yang memadai adalah hal utama yang harus dipikirkan dalam setiap kebijakan atau program yang diluncurkan.
Sumber daya manusia yang dimaksud adalah para guru. Guru sebagai ujung tombak dari berbagai perubahan harus siap berupaya dan berani belajar mengikuti tuntutan perkembangan zaman. Untuk melaksanakan merdeka belajar, guru dituntut untuk selalu memunculkan ide kreatif dan inovatif agar para pelajar termotivasi untuk mengembangkan segala kompetensi yang mereka miliki. Tantangan menggunakan berbagai sumber belajar pun pasti akan dihadapi oleh semua guru di berbagai fase belajar. Mau tidak mau, guru dituntut untuk terus belajar, mengikuti berbgai pelatihan di berbagai platform belajar secara daring atau tatap muka. Sejalan dengan perkembangan teknologi, guru dituntut dan ditantang untuk adaptif menggunakan berbagai media belajar digital yang kelak dapat memudahkan pelajar menghadapi perkembangan dunia digital.
Tantangan lain yang juga perlu mendapatkan perhatian, menurut pandangan penulis, adalah kesiapan dan sinergitas antarpemangku kebijakan. Sinergitas yang baik, merdeka belajar akan terlaksana dengan baik. Kualitas referensi juga sangat diperlukan dalam menyukseskan program merdeka belajar. Referensi, buku teks yang berkualitas akan membantu para guru memperoleh petunjuk dalam memfasilitasi proses belajar yang berpusat pada siswa secara efektif. Pembelajaran yang efektif akan membentuk karakter pelajar yang berbudi luhur, kompeten, adaptif, mandiri sesuai tujuan pendidikan yang tertuang dalam kurikulum merdeka yaitu membentuk karakter pelajar pancasila.
*) Silvia Wahyu Rizkiana, S.Pd., penulis dan pendidik di SMPN 1 Sooko, Mojokerto.