Dalam sebuah diskusi, Cyntha Hariadi, penulis novel berjudul Kokokan Mencari Arumbawangi menyampaikan bahwa novelnya lahir karena keresahannya pada Bali, khususnya Ubud. “Ubud yang dulu saya kenal, tidak tidak seperti Ubud sekarang yang terlihat seperti Jakarta Pusat,” ujarnya. Ya, pada awalnya adalah resah. Pengarang dengan segala keresahan yang dimilikinya merupakan elan yang mengekspresikan dirinya melalui tulisan.
Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra menyatakan, “Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.” Kalimat ini sering kita dengar menjadi pembuka ulasan terkait proses penciptaan karya sastra. Kalimat yang merujuk pada sosok pengarang, manusia yang selalu membekaskan keresahan, selalu mencuatkan sidik hidupnya dalam bentuk intensi, yaitu muatan-muatan yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui keseluruhan struktur karya. Intensi pengarang inilah yang kemudian, salah satunya menjadi intensi dakwah.
Dakwah dalam Kamus diartikan sebagai; (1) penyiaran; propaganda; (2) penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Merujuk pada arti tersebut, intensi dakwah yang kita lekatkan pada karya sastra sejatinya terjadi pada semua agama, termasuk Islam.
Dalam perkembangan sastra nusantara kita mengenal banyak intensi dakwah pada karya sastra. Di Melayu, kita mengenal Gurindam 12 Raja Ali Haji. Gurindam adalah salah satu jenis puisi yang memadukan antara sajak dan peribahasa. Jumlah baris pada gurindam hanya dua dengan rima a-a, berisi ajaran yang berkaitan dengan budi pekerti dan nasihat keagamaan. Di Jawa, kita mengenal syiir Lir ilir yang dicipta Sunan Kalijaga, salah satu dari Walisanga. Selain islam intensi dakwah juga digunakan dalam agama-agama lain. Misal cerita Ramayana dan Mahabarata yang banyak bermuatan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pandangan hidup masyarakat Hindu.
Mengapa intensi dakwah terjadi pada karya sastra? Saya rasa untuk semua hal, belajar dari sejarah, karya sastra adalah cara paling berpengaruh, paling kuat, baik dalam determinasi dan ketahanan, perihal memperjuangkan perubahan. Intensi-intensi pengarang dalam karya sastra telah mewarnai perubahan. Bagaimana karya-karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Achdiat Karta Mihardja, Trisno Sumardjo, dan Utuy Tatang Sontani, yang saat ini kita kenal periodesasi sastra sebagai Angkatan 1945, turut punya andil dalam menggelorakan semangat meraih kemerdekaan.
Tengok pula sebuah buku menarik ditulis oleh Seno Gumiro Ajidarma, Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara. Buku ini hangat oleh sejarah kelam dunia jurnalisme kita, pada masa ketika kebebasan berbicara dibungkam melalui pembredelan, redaktur dan wartawannya dibui. Dalam wacana tema kita, secara kita bisa memaknai bahwa banyak hal di dunia yang di-ihwalkan ke arah kebaikan dipatahkan, dikebiri oleh hegemoni politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih superior namun tidak substansial. Sastra menjadi lawan seimbang. Sastra menjadi cara dalam memenangkan kebaikan dalam dikotomi melawan kezaliman. Karya Sastra dimata pembaca memiliki kekuatan pragmatik dan ekspresif yang tak terlihat, namun nyata dalam pencapaian tujuan serta visi atau keadaan pikiran dan kejiwaan yang di-intensikan pengarangnya.
Bagaimana dengan intensi dakwah dalam karya sastra? Apakah intensi dakwah segaris dengan capaian estetik? Inilah tantangannya. Di dunia digital yang serba cepat dan mudah ini bertaburan banyak karya sastra dengan intensi dakwah. Kurangnya daya eksplorasi kreatif menjadikan karya sastra kabur batasannya. Beberapa poin-poin dakwah menjadi kawat yang mencuat begitu saja. Bukan menetramkan, bukan menyembuhkan, namun justru melukai. Bagaimanapun karya sastra bukanlah teks ceramah agama, bukan pula teks pidato kemanusiaan. Salah satu persoalan besar dari intensi dakwah dalam karya sastra adalah bagaimana menemukan cara menyisipkan nilai-nilai moral yang tidak bersifat menggurui atau memberatkan, sehingga pesan-pesan moral itu dapat ditangkap penikmat sastra dengan baik.
Saya pernah mendengar beberapa sastrawan Indonesia menyatakan bahwa novel best seller Ayat-Ayat Cinta sebagai karya sastra dengan intensi dakwah cukup sukses, namun dari sisi kualitas sastra belum berhasil. Hal ini tentu selalau memicu perdebatan. Biasanya perdebatan tidak menemukan titik temu karena tingkat resepsi pembaca yang berbeda terhadap pembacaan karya. Tapi persoalan ini paling tidak bisa kita tarik sebagai pembelajaran dalam perjalanan proses kreatif. Bagaimana seorang pengarang menumbuhkan intensi (dakwah)-nya menjadi linear dengan kualitas sastrawi.
Tentu saja, nantinya pengalaman hidup tiap pengarang akan membawa pergerakan intensinya semakin matang. Sama hal ketika saya baru saja larut dalam eksplorasi puisi cinta dalam proses kreatif, lalu membaca dan membandingkannya dengan puisi Aku Mencintaimu dengan Sederhana penyair Sapardi Djoko Damono. Betapa dangkalnya puisi intensi cinta saya. Namun saya yakin, linearitas itu akan terjalin seiring pergesekan dengan kehidupan yang saya jalani, yang saya hikmati. Perjalanan kreatif pengarang akan membawa intensi kepenulisannya menjadi karya sastra yang baik, karya sastra yang selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma dan moral.
Saya rasa begitulah ihwal sastra, dari setangkup resah, hingga intensi-intensi nan meruah.
Penulis:
Mochammad Asrori, karyanya—berupa cerpen, puisi, naskah drama, dan esai—telah terbit di berbagai surat kabar, media daring, dan buku-buku antologi bersama. Selain menulis, aktif menjadi kurator buku, editor buku, dan sesekali juri lomba kepenulisan.